Jujur, Ini Amat Sulit - Bagian 1

Seorang gadis mencoba menuruni tebing yang tadi dipanjat untuk masuk ke area perkemahan. Ia turun dengan cukup kesulitan karena di punggungnya ada banyak sekali barang bawaan kelompok. Setelah berhasil turun, Ia dihadapkan dengan pemuda berkacamata yang menghentikan motor di depannya.

Tak ada suara karena tak ada yang mau membuka percakapan di antara keduanya. Si gadis hanya menatapnya dengan tatapan sendu dan pemuda tadi menatapnya dengan tatapan rindu. Mereka hanya terdiam, menyelami kedalaman mata masing-masing.

"Cie, Ava! Mau jadi ojeknya lagi?" pekik gadis lain sembari menghentikan laju motornya di tanjakan yang cukup dekat dengan dua insan yang bertatapan tadi.

Gadis itu tersentak. Ia baru ingat bahwa pemuda di hadapannya itu tak boleh ia temui lagi.

"Ava, sudahlah! Jangan mau jadi ojek dia lagi! Kamu nanti sak--"

"Aku bukan mau jemput dia. Kebetulan aku diam di sini, mau mengecek barang yang kubawa. Lagipula 'dia' yang membawa barang kelompok kita, kan?" sambar pemuda yang dipanggil Ava itu. Si gadis di depannya meringis.

Gadis-gadis lain tampak termangut-mangut lalu segera tancap gas meninggalkan dua insan itu dalam situasi seperti sebelumnya.

"A-aku bawa motor, kok," ujar gadis itu gugup. Sudah lama sekali ia tak berbicara dengan pemuda itu. Ava menatapnya datar dan mengulurkan tangan.

"Baiklah. Kemarikan dua tas lainnya. Aku ketua kelompok, jadi aku yang bawa semua perlengkapan kelompok," katanya. Gadis tadi menganggukan kepala dan menyerahkan dua tas besar dengan tangan gemetar. Ia membawanya sedari tadi, melewati turunan dan tebing yang cukup terjal.

"Letak parkir tidak jauh. Bawa tas dan tongkatmu saja. Aku pamit," ujar Ava datar. Tanpa menunggu gadis tadi menjawab, ia sudah melesat pergi dengan motor matic birunya meninggalkan gadis itu.

"Kalau boleh jujur, ini sangat sulit."

•••••

"Savira, kamu dicari sama anak kelas sebelah!" panggil ketua kelas XI 1 Bahasa, Dian.

Gadis yang dipanggil tadi menoleh cepat. Kenapa ada anak kelas sebelah yang mencarinya? Apakah ia sudah berhutang uang pada anak-anak di sana? Ia amat panik. Dian yang melihatnya panik segera menghampirinya dan menepuk pundaknya.

"Savira, tenang saja. Bukan menagih hutang, kok," ujarnya. Savira terkekeh kecil, lantas bangkit untuk segera menemui orang dari kelas sebelah tadi. XI 4 IPA atau XI 2 Bahasa, ya?

"Hai, ada apa y-" sapaan Savira segera terhenti ketika netranya menangkap penampakan horor yang ingin dihindarinya hampir seminggu ini.

"Kata ibuku, melupakan orang jangan setengah-setengah. Aku membawa semua barang pemberianmu dulu dalam kotak ini. Kumohon ambil kembali," ujar pemuda di depan Savira sembari menyerahkan sebuah kotak kardus yang dicat biru tua. Di atasnya ditulis besar-besar "Bukan Milik Ravael Lagi!".

"A-aku tidak akan terima!" pekik Savira kecil. Ravael mendecak kesal.

"Lalu kembalikanlah semua barang yang pernah aku berikan. Buat semua ini jadi mudah, Ra," balas Ravael sengit. Kini bola mata Savira tampak basah oleh air mata yang ia tahan.

"Simpan! Bakar! Itu sudah menjadi milikmu saat pertama kali aku berikan. Tidak perlu mengembalikannya padaku lagi," ujar Savira dengan nada suara yang gemetar menahan tangis. Barang-barang itu mungkin tidak lebih berharga dari barang yang dihadiahkan Ravael untuknya. Namun, ada rasa sayang di setiap barangnya. Ia memejamkan matanya sesaat, mencoba menenangkan hatinya yang terasa sakit. 

Dian bohong soal bukan penagih hutang yang mencarinya. Nyatanya, orang ini jauh lebih kejam dari penagih hutang yang ditakutinya. 

"Anggap saja itu bayaran setelah menjadi ojek yang baik untukku selama setahun lalu," lanjutnya. Mata Ravael langsung melotot tak percaya. Akhirnya kata-kata itu terucap dari mulut Savira sekali lagi.

"Aku ojek yang mahal. Bayar aku dengan uang, bukan dengan barang murahan seperti ini," ujar Ravael sambil melempar kardus tadi ke lantai. Siswa dan siswi lain tampak mulai mengerubungi mereka berdua. Tontonan gratis saat jam istirahat, siapa yang mau melewatkan?

"Berapa banyak harus kubayar?" tanya Savira dengan senyum yang dipaksakan. Ravael tersenyum miring.

"Delapan juta. Aku mau uang itu cepat diberikan padaku," putus Ravael tanpa pikir panjang. Jantung Savira mencelos. Jadi, benar-benar hanya soal uang?

Air mata Savira lolos begitu saja. Ia mengusapnya kasar lalu segera mengangkan kardus biru tua itu. Matanya amat merah sekarang.

"B-baiklah. Aku akan-"

"PLAK!"

Ucapan Savira terpotong oleh suara nyaring tamparan pada pipi Ravael. Savira terperanjat.

"Brengsek! Setahun lalu aku memang diam saja. Tapi ini keterlaluan, Rav. Savira, ayo ke kelas dulu," ajak pemuda yang baru saja datang itu pada Savira. 

"Sudahlah, Dipta. Va, aku butuh waktu seminggu untuk uang itu. Selasa depan pasti sudah lunas tanpa cicilan lagi," ujar Savira sembari tersenyum ke arah Ravael dan Dipta. Ia memejamkan matanya sesaat lalu masuk ke kelas dengan membawa kardus biru tua itu.

Dipta segera mengikuti Savira ke kelas, meninggalkan Ravael sendiri di lorong kelas. Gerombolan siswa yang tadi mengerubungi mereka bertiga juga sudah bubar saat Savira masuk kelas. Bel masuk kelas juga berbunyi nyaring, membuat Ravael bergegas menuju kelas XI 4 IPA.

•••

"Ternyata kau berhasil memacari Savira selama setahun. Genap sehari ini, uangmu akan aku transfer."

"Pacaran setahun dengan gadis miskin. Tak sia-sia aku bertaruh padamu, Va. Kau siapkan uang untukku juga!"

"Santai, kawan. Pacaran dengan Savira juga asyik, kok. Tidak masalah," sahut Ravael menanggapi teman-temannya yang heboh sendiri.

"Lagipula ini juga permainan, kan? Malam ini juga Savira akan kutinggalkan. Lebih baik aku pacaran dengan Renata, lebih sederajat denganku," lanjut Ravael.

Tanpa sengaja semua percakapan tiga orang itu didengar oleh gadis yang mereka bahas sedari tadi.

"Jadi ini semua hanya permainan? Semua ini hanya demi uang?" gumam gadis itu pedih. Hatinya remuk saat itu juga. 

Baru saja ia berpikir untuk merayakan setahun mereka jadian. Namun, Ravael dengan mudah ingin memutuskannya di malam perkemahan ekskul pencinta alam. 

"Bukan kamu yang akan mengakhirinya, El. Akan aku buat kamu tidak lupa dengan hari ini," mantap Savira sembari menepuk dadanya pelan. 

Tepat saat api unggun menyala, semua orang berkumpul mengelilingi api unggun. Ravael mulai bergerak gelisah. Savira yang membaca gelagat aneh pacarnya itu langsung berdiri dan berseru keras.

"Ravael Ginanjar, terima kasih sudah menjadi ojek yang baik selama setahun ini. Aku sangat senang, tapi mari kita sudahi. Aku mau putus!" pekik Savira kencang disertai senyum miris yang diulasnya. Ravael terperanjat dengan ucapan Savira barusan, ia duduk terbengong mencerna ucapan itu.

Semua orang di perkemahan juga ikut kaget dengan sepasang kekasih yang tampak saling mencintai itu. Kini mereka putus.

Savira yang hanya sebagai barang taruhan. Ravael yang menjadi mantan tukang ojek langganan.

•••

"Sudah seminggu putus, kau mau terus buat sensasi dengan Savira?" tanya Adi, sahabat Ravael.

"Taruhan juga sudah lunas. Uang sudah aku transfer ke rekening kalian. Tak perlu sensasi lain, Va!" seru Daniel, sahabat Ravael juga. 

Mereka berdua inilah yang memberikan tantangan pada Ravael untuk memacari Savira selama setahun. Ravael menyanggupinya dengan baik bahkan benar-benar tepat setahun. Seminggu lalu seharusnya hari jadinya yang ke-1, namun terpaksa harus putus karena memang taruhannya hanya sampai setahun.

"Bukan cari sensasi. Hanya saja, Rara ...." gantung Ravael. Ia sendiri bingung, karena sampai saat ini isi kepalanya hanya wajah Savira yang memutusinya seminggu lalu.

"Sudah, ada Renata juga. Pak Broto sudah mau masuk kelas. Belajar dulu, yuk!" ajak Adi. Diangguki oleh Daniel dan Ravael.

•••

Bel pulang berbunyi nyaring. Savira sudah bersiap pulang dengan membawa kardus biru tua tadi. Dipta menghampirinya dan membisikkan sesuatu, Savira sampai terkekeh dan menganggukinya. Dipta langsung lari dengan senangnya ke parkiran. Savira hanya bisa menggelengkan kepala dan lanjut turun menuju gerbang sekolah.

"Ayo naik!" seru seseorang tiba-tiba. Ravael dengan motor birunya baru saja berhenti tepat di samping Savira. 

Mata mereka bertemu, suasana jadi agak sendu. Ravael kemudian sadar dengan kelakuannya langsung berdehem.

"Sav! Ayo naik!" pekik riang seorang Dipta. Savira tersenyum ke arahnya dan segera naik ke atas motor Dipta, meninggalkan Ravael dan motor matic biru kesayangannya.

Sudah seminggu ini Ravael melakukan hal seperti tadi. Ia akan berhenti di depan gerbang dan menunggu Savira. Namun setelah Savira pergi dengan Dipta, Ravael akan segera melajukan motornya menuju taman tempatnya dan Savira biasa kencan minggu pagi. Di hari lain, Ravael akan berhenti di minimarket tempat Savira kerja paruh waktu. Ravael akan diam di sana sekitar sejam lalu menyadari kesalahannya sendiri.

"Kalau boleh jujur, ini sangat sulit."

•••

[bersambung]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

"Usai" sebuah cerpen

Janji

Jujur, Ini Amat Sulit - Bagian 2