Janji

Kota Antariksa diguyur hujan sejak semalam. Jalanan yang basah itu hanya dilewati orang-orang berangkat kerja dan seorang pemuda dengan model rambut buzz-cut yang berlari kepanikan. Tanpa payung, pemuda itu biarkan baju seragamnya basah oleh hujan deras itu. Persetan bel masuk sekolahnya yang berbunyi nyaring, ada yang lebih penting dari itu.

"Gue dipukulin lagi."

Satu pesan itu mampu membuat jantungnya berdegup kencang. Usai membaca itu, ia berlari ke memutari sekolah, mencari sosok yang membuatnya panik setengah mati itu. Hingga akhirnya, di bawah hujan deras itu, di sebuah taman bermain yang jaraknya dua blok dari SMA Antariksa, ia mendapati pemuda lain yang juga basah kuyup sepertinya sedang duduk di bawah air mancur.

"Ivan," lirih pemuda yang terduduk lesu itu. Yang dipanggil Ivan langsung merengkuh tubuh pemuda yang lebih tinggi. Kini bukan hanya badan yang basah, mata mereka ikut berair dan merah.

"Leon, lain kali lo kabarin ada di mana. Gue basah kuyup nyariin lo," gerutu Ivan. Leon hanya bisa terkekeh sambil menahan nyeri di ujung bibirnya.

"Liat kondisi gue dulu, Van. Jangan diomelin dulu guenya," sungut Leon pada yang lebih pendek. Ivan melepas rengkuhannya dan menatap Leon dari ujung rambut hingga kaki.

"Kali ini bapak lo hattrick? Memar di muka lo ada tiga," ujar Ivan dengan ekspresi serius. Leon tidak kuasa menahan tawanya walau ujung bibirnya serasa akan robek.

"Lebih dari hattrick, Van. Bapak gue sempet nginjek lengan kanan gue. Sekarang kayak mati rasa," jelas Leon. Air muka Ivan berubah menjadi khawatir. Segera ia tarik Leon untuk berteduh di sebuah gazebo di taman itu.

"Lo anak basket, Yon. Tangan kanan lo penting buat main basket," ucap Ivan. Leon hanya mengangkat kedua lengannya seolah berkata 'Tanya bapakku'. Ivan menoyor Leon pelan, takut menambah luka di badan Leon.

"Lo tunggu di sini, gue beliin obat dulu," ujar Ivan. Namun belum sempat beranjak, ujung seragamnya ditahan oleh Leon.

"Gue butuhnya ditemenin, bukan obat," lirih Leon. Ivan urungkan niatnya pergi, hujan makin deras. 

Di hari Senin kelabu itu, dua remaja kelas 3 SMA itu duduk berdampingan menunggu hujan reda.

Ivan dan Leon sudah bersahabat dari masih sekolah dasar, orang tua mereka cukup dekat, dulu. Beberapa tahun belakangan, orang tua Leon memilih untuk berpisah, menyisakan Leon dengan ayahnya saja. Semenjak saat itu, hubungan antara keluarga Leon dan Ivan merenggang, bahkan hubungan Leon dengan ayahnya ikut renggang.

Dari kecil Leon begitu menyukai olahraga, kalau ditanya isi kepala, ia serahkan semuanya pada Ivan. Leon begitu menyukai olahraga, menyukai sensasi napas tersengal karena mengelilingi lapangan sepuluh putaran sambil disemangati Ivan di pinggir lapangan yang teduh. Leon begitu menyukai olahraga, basket jadi andalannya, ia kaptennya. Namun di rumahnya, Leon hanya menjadi seorang anak. Seorang anak yang dilarang membangkang.

"Mau jadi apa kamu? Atlet? Tidak ada uangnya, Leon!" hardik Bimo, ayah Leon. 

Leon mengerti. Leon paham betul kenapa ayahnya membentaknya. Ayahnya hanya seorang mantan atlet renang, pensiun karena arthritis genetik. Ayahnya takut Leon berakhir seperti dirinya. Namun Leon masih tidak paham mengapa ayahnya sampai perlu memukulinya.

"Kamu mirip ibumu."

Rambut ikal Leon memang persis ibunya, potongan rambut pendek itu sangat mirip dengan ibu Leon yang bergaya tomboi. Terlalu mirip, hingga Bimo membencinya, membuatnya teringat pada orang yang pernah dicintainya.

"Hujannya udah reda, Yon! Balik, yuk!" ajak Ivan membuyarkan lamunan Leon yang mengawang. 

Leon menatap lekat sahabatnya, betapa beruntung kelak orang yang jadi pasangan hidup Ivan. Sosoknya begitu pintar, peduli, baik hati, nyaris sempurna selain sifatnya yang cenderung dingin dengan orang lain. Leon adalah satu-satunya teman Ivan. Tidak pernah ada satu kesempatan Ivan memacari gadis, hidupnya berkutat pada Leon. 

"Lu nggak punya pacar, Van?" tanya Leon. Ivan melotot tidak suka dengan pertanyaan itu.

"Gue 'kan bukan buaya kayak lo, Yon," sinisnya. Leon tertawa.

"Gini deh," ujar Leon sambil berdiri dan menghadap Ivan yang masih duduk di gazebo. 

"Kalo sampe umur 30, lo kagak nikah, gue bakal nemenin lo sampe tua. Kita aja yang nikah."

"Ngaco, lo," ujar Ivan sambil mendorong sahabatnya yang setinggi 189 cm itu.

"Serius. Lo juga udah kayak keluarga buat gue, Van. Lo bahkan lebih dari pacar gue. Lo– apa ya? Udah kayak istri—"

"Udah, Yon. Geli gue. Curiga bapak lo mukul sampe tempurung kepala lo retak dikit," sela Ivan yang merinding mendengar perkataan Leon yang cheesy. Leon hanya berdecih lalu tersenyum dan merangkul sahabatnya untuk pergi dari taman. Pergi kemana? Belum tahu, mungkin singgah sebentar di apotek untuk membeli salep.

Satu hari kelabu di bulan September itu berlalu. Hari-hari Leon dan Ivan berjalan seperti biasa. Leon masih suka olahraga, Ivan juga masih suka melihat Leon olahraga. Sambil membawa-bawa buku tebal untuk ujian, Ivan akan memilih sudut paling teduh di pinggir lapangan untuk menonton sahabatnya melakukan dribble atau sok-sok melakukan lay-up shoot. Terkadang, dia ditemani seorang perempuan–siapa namanya? Dinda atau Dina. Leon berganti pacar tiap minggu, Ivan sampai tidak pernah ingat siapa saja mantan Leon; untuk apa mengingat? Ivan hanya perlu Leon di hidupnya.

Usai latihan, Leon biasanya akan cengengesan menghampiri Ivan lalu meminta air minum. Ivan dengan sukarela memberikannya, toh memang dia sengaja membawa dua botol air mineral untuk dia dan Leon. Mata rubahnya mengedip genit ke beberapa siswi yang lewat di pinggir lapangan. Ivan yang melihat itu hanya bisa memutar mata bulatnya. "Buaya," desisnya.

"Cemburu, kah?" tanya Leon jahil. Ivan memicingkan matanya dan menyentil dahi Leon. Si tinggi hanya bisa mengaduh–padahal tidak sakit.

Semenjak janji di umur 30 tahun itu, Leon makin sering menjahili Ivan. Menggoda penampilan Ivan yang mungil–hanya beda 10 cm. Potongan rambut buzz-cut Ivan membuatnya terlihat lebih imut, terlebih mata bulatnya yang berbinar setiap Leon bicara soal olahraga dan pertandingan basket antar sekolah. Badan kurus Ivan yang membuat Leon khawatir angin kencang menerbangkan sahabat seringan bulunya itu.

"Lo ga mau bareng olahraga sama gue? Lengan lo seukuran sama lengannya Rani—"

"Pacaran mulu!" seru Andre, teman sekelas mereka, menyela perkataan Leon. Tangan Leon kala itu tengah meremas-remas lengan atas Ivan.

"Mulut lo pacaran," cibir Leon pada Andre. Ia mencuri pandang ke arah Ivan, mukanya begitu merah dan tampak malu-malu.

Cantik. 

Tunggu. Sejak kapan sahabatnya jadi cantik? Sejak kapan ia mengasosiasikan Ivan yang berambut buzz-cut dengan kata cantik?

Hari itu lewat lagi dengan pikiran Leon yang mulai bercabang. Di kepalanya hanya ada Ivan–sudah bukan basket saja. Ia mulai membayangkan suara-suara Ivan berputar di kepalanya seperti kaset rusak. Leon mulai terbayang dengan bibir tebal berwarna merah muda milik Ivan yang begitu cantik jika basah, apalagi dikecup— ada yang salah.

Sejak kapan temannya jadi begitu menawan?

Esoknya, Leon begitu malu menatap sahabatnya. Ivan bingung, Leon lebih bingung lagi saat menyadari jantungnya berdebar setiap melihat Ivan. Leon masih normal, kok. Leon masih suka melihat gadis-gadis pakai rok di sekolah, tapi tidak masalah juga jika melihat Ivan memakai rok. Ia masih suka gadis-gadis yang berambut panjang, tapi tidak masalah juga kalau Ivan rambutnya model buzz-cut. Lho?

Berbulan-bulan ia kebingungan, sampai-sampai ia berhenti berganti pacar setiap minggu. Bagaimana mau berganti? Isi pikirannya hanya Ivan dari matahari terbit, tenggelam, bahkan di alam mimpi. Menyedihkan.

Leon pun makin sering memperhatikan Ivan. Bagaimana Ivan tersenyum malu-malu setiap menontonnya latihan. Pipi Ivan yang merona setiap Leon melihat ke arahnya. Sudah jelas sekali, 'kan?

Leon suka basket, olahraga, dan Ivan–baru sadar hari ini di bulan Mei. Dari kapan? Mungkin sejak Ivan menjadi sosok keluarga pengganti dari yang dimiliki Leon sekarang. Mungkin sejak melihat pipi Ivan bersemu merah. Mungkin sejak awal mereka bersama, hanya malu mengaku pada kenyataan.

Ia berniat menyatakan perasaanya pada Ivan karena yakin gayungnya bersambut. Ia siapkan coklat termanis yang ia tahu, lalu menarik Ivan ke sudut taman sekolah yang sepi hari itu karena ujian sekolah baru saja usai. Ia meremat tangan Ivan dengan riang–seperti remaja baru jatuh cinta.

"Stop alay, Yon. Mau lo apa?" tanya Ivan tidak sabar. Maklum, tadi ujiannya lumayan sulit dijawab. Jangan tanya Leon, isi pikirannya 80% Ivan semua.

"Gue mau jujur—"DRRTTT

"Angkat telponnya, Yon. Kayaknya penting," saran Ivan. Leon mendecak lalu mengangkat telpon tidak tahu situasi itu.

Langitnya cerah, tapi seolah ada guntur ketika telepon itu diangkat. Giliran jantung Leon merosot mendengar kabar jantung ayahnya tidak lagi berdetak.

Klise. Serangan jantung. Rasa benci dan amarah yang ditumpuk seiring waktu, mengantarkan Bimo pulang ke sisi-Nya. Tidak tahu harus bahagia atau sedih, tetap saja kabar ini membuat hati Leon remuk. Ivan yang ikut mencuri dengar itu juga tampak sendu.

Yang lebih kecil merengkuh si tinggi yang mematung tanpa berkata apa-apa. Si rambut ikal gemetar menahan tangis, sang ayah satu-satunya keluarga kandung yang ia miliki. Ia tidak pernah membenci ayahnya, ia hanya kecewa. Lebih kecewa lagi pada dirinya yang lebih banyak menentang sang ayah. Kecewa karena tidak sempat ada kata maaf di antara mereka.

Sejak saat itu, Leon putuskan untuk pergi. Menghilang sejenak dari kota yang memberinya luka hati. Meninggalkan Ivan, sahabatnya, yang membuatnya jatuh hati. Ia pikirkan kembali semua keputusannya, jika memang takdir, maka Tuhan pasti mempertemukan.

(*)

Tahun berlalu, sudah lewat 12 musim penghujan. Sudah lama juga mereka hanya hidup dengan cerita masing-masing.

Leon masih sendiri, kehilangan kesempatan menyatakan perasaan membuatnya belum ingin menjalin hubungan. Terlebih waktu itu tragedi menjadi hambatan, Leon memutuskan pergi dan menghilang dari genggaman tangan Ivan.

Namun sayangnya, Ivan tidak kunjung hilang dari kepala Leon. Hari-hari Leon masih dibayangi Ivan hingga mau tidak mau Leon terus mengingat janji sepele yang ia katakan.

"Kalo sampe umur 30, lo kagak nikah, gue bakal nemenin lo sampe tua. Kita aja yang nikah."

"Ngaco, lo."

Pikiran Leon memang sudah kacau. Ia kerja serabutan untuk mengumpulkan uang, masa depan yang ia impikan dengan Ivan. Bahkan Leon siap pindah negara hanya agar bisa memboyong Ivan dalam peluknya.

Lamunannya buyar, seorang lelaki baru saja menubruknya. 

Baru saja hendak marah, mata gelapnya menangkap sosok yang ada dalam lamunannya. Rambutnya yang masih dipotong buzz-cut, kacamata yang membingkai bulat matanya, bibir yang–belakangan ia perhatikan– kecil dan kemerahan. Lelaki yang baru saja menubruknya adalah Ivan. Leon refleks memeluk lelaki yang masih saja muat dalam dekapnya itu.

Ivan terperanjat, tidak menyangka akan bertemu sahabat lamanya di sebuah cafe kecil di tengah kota. Ia sangka Leon tidak akan pernah kembali, menghilang dan menyisakan pertanyaan tanpa jawaban.

"Lo kemana aja?" tanya Ivan. Leon masih tidak bergeming, ia hanya ingin terus memeluk sosok yang memenuhi pikirannya ini sampai puas.

"Jawab, Yon. Malu diliatin orang-orang. Masih gila aja ya, lo," omel Ivan lagi. Leon segera melepas pelukannya, wajahnya memerah karena baru sadar kalau mereka tidak hanya berdua di cafe itu. Mereka pun memutuskan duduk di sebuah sudut, berhadapan, dan memesan latte panas.

"Gue kangen lo, Van."

"Lo yang ngilang, Yon."

Keduanya diam, hanya dua pasang mata saling tatap penuh tanya. 

"Lo masih sendiri, Van?" tanya Leon. Ivan berdehem.

Ivan memilih tidak menjawab dan balik bertanya, "Lo gimana?"

"Gue baik. Pikiran gue belakangan isinya lo doang. Mungkin karena gue suka sama lo banget, jadi gue terus mikirin lo sampe ngumpulin duit biar kita bisa beneran tinggal bareng—"

"Hah?" potong Ivan. "Lo sepagi ini udah mabok? Ngelantur banget. Emangnya lo gay? Buaya kayak lo–gay?"

"Lo emang ga bakal percaya, Van. Tapi ini semua gara-gara lo. Lo selalu ada di sisi gue. Lo selalu jadi keluarga yang bisa gue jadiin sandaran. Lo udah jadi dunia gue, Van. Gue pun yakin lo suka balik sama gue," cetus Leon.

"Lo terlalu salah paham, Leon. Lo lagi haus, gue sebagai sahabat pastinya bakal ngasi lo minum. Gue gatau kalo lo sedangkal ini memaknai persahabatan kita, Yon. Gue gak pernah suka sama lo, gue tau betul kalo lo nggak gay—

kayak gue." cicit Ivan di ujung bantahannya.

"Gue emang haus, Van. Makanya terus lanjut kasih gue minum. Sekalipun itu racun, gue bakal tetep minum karena lo yang kasih," rengek Leon. Ivan diam.

"Lo juga pasti masih sendiri. Lo 'kan selalu sama gue. Lo selalu di samping gue. Lo gabisa sama orang lain. Jadi, lo pastinya milik gue, Van. Lo suka sama gue." Ivan masih diam.

"Kita udah janji, 'kan? Umur kita udah sama-sama 30. Gue sendiri, lo juga sendiri, ayo kita menua sama-sama, Van. Gue cinta sama lo," final Leon. Ivan menitikkan air mata.

Ivan meremat tangan Leon lembut dan berujar lirih, "Yon, sebenernya—"

"Sayang! Kita kan harus sebar undangan bareng–lho? Leon? Lama nggak ketemu," potong suara yang familiar; Andre.

Andre langsung duduk dan merangkul Ivan mesra, Leon merasa tidak suka.

"Yon, gue tau lo kangen sama calon suami gue. Tapi Ivan sama gue harus cepet-cepet nyebar undangan biar bisa ambil flight nanti malam. Eh, lo tau kan kalo gue sama Ivan bakal nikah?" cerocos Andre. Pupil legam Leon tidak fokus, perkataan Andre barusan mirip seperti guntur di bulan Mei waktu lalu. 

Matanya menatap lekat pupil coklat milik Ivan, mencari-cari adakah kebohongan dari semua ini. Nihil.

"Nih, undangannya. Gue harap lo bisa dateng. Sekalian reuni SMA, 'kan?" ujar Andre sembari memberikan amplop warna cream itu pada Leon.

Andre lalu berdiri dan menarik Ivan pergi. "Gue sama Ivan pamit dulu, Yon. Lu sehat-sehat, ya. Gue harus cepet-cepet, nikah sambil pindah negara melelahkan banget asal lo tau."

Begitulah Leon ditinggalkan, lagi. Dua latte panas itu baru saja diantarkan.

"Temannya mana, Kak?" tanya waiter itu. Leon menggeleng.

"Duduk aja, Kak. Minum latte sama saya, saya kasih uang tip," ajak Leon. Waiter itu mengangguk dan duduk tanpa banyak bertanya. Ia temani saja pelanggan yang terlihat gusar itu, toh dia dapat bayaran.

Leon suka basket, olahraga, dan Ivan–terlambat sadar. Dari kapan? Mungkin sejak Ivan menjadi sosok keluarga pengganti dari yang dimiliki Leon dulu. Mungkin sejak melihat pipi Ivan bersemu merah. Mungkin sejak awal mereka bersama, Leon hanya malu mengaku. Padahal, Ivan hanya baik hati, tapi Leon malah jatuh hati.

Siapa yang mau disalahkan jika mulut tanpa sengaja berjanji?

[151024]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

"Usai" sebuah cerpen

Jujur, Ini Amat Sulit - Bagian 2