Postingan

"Usai" sebuah cerpen

Aku mendengar alunan lagu berbahasa Jepang dengan judul "For Lovers" yang dinyanyikan oleh Lamp. Enam belas foto dalam postingan itu aku geser perlahan, meneliti satu demi satu gambar; melihat dia. Kisah yang tidak pernah dimulai itu sudah lama usang, lapuk dan tidak terurus. Hanya menjadi guyonan dan candaan ketika malam sudah suntuk dan obrolan kehilangan duduk perkaranya, setidaknya bagi diriku. Sudah lima kali potongan lagu berdurasi 1 menit itu kudengar; masih belum bosan. Masih belum selesai mengenang kisah yang tidak pernah ada ceritanya, seolah tidak ikhlas padahal sudah jauh lama melepaskan. Usai. Rasa sedihku sudah usai 9 tahun lalu, ketika cerpen tentangnya sudah kukumpulkan untuk tugas mengarang Bahasa Indonesia di kelas IX. Kisah tentangnya sudah kupermak sana sini agar rapi dan kujual di setiap lingkar pertemanan yang aku ikuti. Teman-temanku akan riuh tertawa dan merasa iba; aku tersenyum. Cerita tentangnya menjadi debut suksesku sebagai pendongeng handal, seti...

Janji

Gambar
Kota Antariksa diguyur hujan sejak semalam. Jalanan yang basah itu hanya dilewati orang-orang berangkat kerja dan seorang pemuda dengan model rambut buzz-cu t yang berlari kepanikan. Tanpa payung, pemuda itu biarkan baju seragamnya basah oleh hujan deras itu. Persetan bel masuk sekolahnya yang berbunyi nyaring, ada yang lebih penting dari itu. "Gue dipukulin lagi." Satu pesan itu mampu membuat jantungnya berdegup kencang. Usai membaca itu, ia berlari ke memutari sekolah, mencari sosok yang membuatnya panik setengah mati itu. Hingga akhirnya, di bawah hujan deras itu, di sebuah taman bermain yang jaraknya dua blok dari SMA Antariksa, ia mendapati pemuda lain yang juga basah kuyup sepertinya sedang duduk di bawah air mancur. "Ivan," lirih pemuda yang terduduk lesu itu. Yang dipanggil Ivan langsung merengkuh tubuh pemuda yang lebih tinggi. Kini bukan hanya badan yang basah, mata mereka ikut berair dan merah. "Leon, lain kali lo kabarin ada di mana. Gu...

Jujur, Ini Amat Sulit - Bagian 2

"Kalau boleh jujur, ini sangat sulit." ••••• Dipta dan Savira sampai juga di rumah Savira yang tak seberapa besar. Savira turun sembari menenteng kardus biru tua itu. "Bunda masih sakit, Sav?" tanya Dipta yang hanya dibalas anggukan kecil. Dipta tersenyum miring sembari menepuk puncak kepala Savira lembut. "Nanti kamu kerja di cafe atau minimarket?" tanya Dipta lagi. Savira menggeleng pelan. "Hari ini aku ambil libur. Mau merawat bunda dulu," ujarnya lemah. Dipta mengangguk maklum. "Kalau ada apa-apa, telpon aku. Anggap aku kakakmu, okay?" suruh Dipta. Savira mengangguk dan segera pamit memasuki rumahnya. Dipta langsung menaiki motornya dan pulang. "Maaf, Dip. Aku tahu kamu ingin lebih dari sekadar kakak. Hanya saja hatiku ini belum mau membuka untuk orang lain, walaupun dia sudah begitu dalam menyakitinya," gumam Savira setelah memasuki rumahnya.  "Aku pulang, Bunda!" seru Savira mencoba terdengar riang. Tak ada sah...

Jujur, Ini Amat Sulit - Bagian 1

Seorang gadis mencoba menuruni tebing yang tadi dipanjat untuk masuk ke area perkemahan. Ia turun dengan cukup kesulitan karena di punggungnya ada banyak sekali barang bawaan kelompok. Setelah berhasil turun, Ia dihadapkan dengan pemuda berkacamata yang menghentikan motor di depannya. Tak ada suara karena tak ada yang mau membuka percakapan di antara keduanya. Si gadis hanya menatapnya dengan tatapan sendu dan pemuda tadi menatapnya dengan tatapan rindu. Mereka hanya terdiam, menyelami kedalaman mata masing-masing. "Cie, Ava! Mau jadi ojeknya lagi?" pekik gadis lain sembari menghentikan laju motornya di tanjakan yang cukup dekat dengan dua insan yang bertatapan tadi. Gadis itu tersentak. Ia baru ingat bahwa pemuda di hadapannya itu tak boleh ia temui lagi. "Ava, sudahlah! Jangan mau jadi ojek dia lagi! Kamu nanti sak--" "Aku bukan mau jemput dia. Kebetulan aku diam di sini, mau mengecek barang yang kubawa. Lagipula 'dia' yang membawa barang kelompok kit...