Jujur, Ini Amat Sulit - Bagian 2
"Kalau boleh jujur, ini sangat sulit."
•••••
Dipta dan Savira sampai juga di rumah Savira yang tak seberapa besar. Savira turun sembari menenteng kardus biru tua itu.
"Bunda masih sakit, Sav?" tanya Dipta yang hanya dibalas anggukan kecil. Dipta tersenyum miring sembari menepuk puncak kepala Savira lembut.
"Nanti kamu kerja di cafe atau minimarket?" tanya Dipta lagi. Savira menggeleng pelan.
"Hari ini aku ambil libur. Mau merawat bunda dulu," ujarnya lemah. Dipta mengangguk maklum.
"Kalau ada apa-apa, telpon aku. Anggap aku kakakmu, okay?" suruh Dipta. Savira mengangguk dan segera pamit memasuki rumahnya. Dipta langsung menaiki motornya dan pulang.
"Maaf, Dip. Aku tahu kamu ingin lebih dari sekadar kakak. Hanya saja hatiku ini belum mau membuka untuk orang lain, walaupun dia sudah begitu dalam menyakitinya," gumam Savira setelah memasuki rumahnya.
"Aku pulang, Bunda!" seru Savira mencoba terdengar riang. Tak ada sahutan.
Savira langsung meletakkan tas dan kardus biru tua itu di dekat meja makan. Ia bergegas memasuki kamar ibunya. Terlihat bundanya tenang di atas ranjang, namun ada gelas dan pil yang berserakan di lantai kamar.
"Bunda!" pekiknya panik. Ia mengguncang tubuh bundanya. Tidak ada respon, bundanya pingsan. Telapak tangan kanan bundanya penuh darah.
Savira langsung mengambil ponselnya dan menekan beberapa nomor.
"Kumohon angkat!"
•••
"Iya?" Dipta mengangkat panggilan dari seseorang.
"Astaga, bibi. Iya, Dipta lagi di rumah. Bibi mau dibelikan martabak? Baiklah. Nanti Dipta bawakan. Agak sorean, ya, Bi!" Dipta memutus panggilannya.
•••
"Kenapa?" tanya suara di seberang. Savira meringis, ternyata masih diangkat juga.
"B-bunda... Bunda pingsan," ujar Savira gemetar. Orang di seberang telpon terdengar diam beberapa saat sampai kemudian kembali bersuara.
"Sepuluh menit. Aku bawa mobil."
"Terima kasih," ujar Savira tulus. Kini ia mulai terisak.
"Ya. Tarik napas, hembuskan. Ulangi tiga kali. Aku tutup."
Panggilan pun diputus sepihak oleh orang di seberang telpon. Savira melakukan yang diperintahkan orang itu. Savira tampak mulai tenang.
"Kamu memang terlalu mengenalku," gumamnya.
Sepuluh menit berlalu, sebuah mobil putih terparkir di depan rumah Savira. Ternyata Ravael keluar dari kursi kemudi dan langsung memasuki rumah Savira.
"Ra, kamu di mana?" panggilnya. Savira menyahut lemah. Ravael segera masuk ke kamar bunda Savira.
"Bunda pingsan daritadi?" tanyanya cepat. Savira mengangguk.
"Sepertinya bunda pingsan sudah lama. Aku, aku...." Savira berujar panik. Ravael segera mengangkat bunda Savira dengan menggendongnya di depan.
"Ayo. Ikut aku. Bunda benar-benar lebih penting saat ini," putus Ravael yang diangguki kecil oleh Savira.
Setelah mengunci rumah, Savira segera membukakan pintu kursi belakang mobil Ravael. Ravael meletakkan tubuh bunda Savira perlahan di kursi belakang.
"Cepat naik."
Mobil putih itu segera melaju ke rumah sakit keluarga Ravael.
•••
"Sementara ibu kamu harus dirawat inap lagi. Enam bulan lalu juga begini, kami hanya tidak ingin terjadi sesuatu yang tidak diinginkan semua pihak," ujar perawat kemudian lanjut menjelaskan prosedur rawat inap dan biayanya.
"Soal biaya, saya yang tanggung, kak. Lagipula bunda sudah sering dirawat di sini," ujar Ravael. Savira menarik ujung baju Ravael agak kencang.
"Hubungi papa saya dulu, ya, kak. Saya mau ke taman rumah sakit sebentar. Ayo!" ajak Ravael sambil menarik tangan Savira lembut.
Sesampainya di taman rumah sakit, Savira menarik lengannya kasar. Ravael melepaskan tangannya dengan lembut lalu membetulkan letak kacamatanya.
"Hutangku makin banyak, El. Uang tabunganku tak akan cukup," cicit Savira. Ravael hanya berdiam diri, tak mencoba merespon ucapan gadis di hadapannya itu.
"Aku hanya benar-benar panik. Jadi aku langsung menghubungimu. Tidak semua teman paham kondisiku. Ah, maksudku, lupakan. Aku menelponmu tanpa berpikir. Maafkan aku," ujar Savira lagi. Ravael mendesah lesu. Selalu begini.
"Karena dari awal memang tentang uang kan? Aku dengar percakapan kalian bertiga di tenda laki-laki waktu itu. Kak Renata dan Diva juga melihat aku yang memutusimu. Kurasa rencanamu memacari kak Renata setelah putus denganku jadi tertunda, ya?" tanya Savira dengan hanya menatap bunga di taman. Ravael terkejut.
"Percakapan apa? Rencana apa?" tanyanya dengan mata melotot tak percaya.
"Taruhan itu. Permainan kalian. Aku tahu itu saat di perkemahan," jelas Savira, ia gigit bibir bawahnya. Ravael mengacak rambutnya frustrasi, mulai paham dengan situasi.
"Aku memang main-main," ujarnya. Jantung Savira rasa mencelos.
"Cukup, Va. Aku paham. Cukup kalkulasikan saja hutangku kemarin dengan biaya rumah sakit ini. Aku jamin akan melunasi-"
"Dengar dulu!" bentak Ravael. Air mata Savira jatuh bebas di kedua pipinya hanya diusap dengan kasar.
"Aku ingin mengejutkan kedua sahabatku. Aku memang akan memutuskanmu malam itu. Tapi bukan untuk nembak Renata. Aku ingin menyudahi hubungan yang didasari taruhan ini dan memulai hubungan baru yang sehat denganmu, Ra. Setahun bersamamu, tidak mungkin tidak tumbuh rasa dalam hatiku. Semuanya darimu itu tulus. Setahun, aku mengenalmu seperti aku mengenal diriku sendiri. Tapi," Ravael menggantungkan kalimatnya ketika melihat Savira yang tumpah tangisnya.
" ... Kamu tiba-tiba meninggalkanku dengan alasan itu. Hatiku terluka. Walau aku yakin kamu lebih terluka dengan fakta yang kamu lihat sendiri. Maafkan aku, Ra," lanjut Ravael sembari merengkuh tubuh Savira dalam pelukannya. Savira tak memberontak. Tangisnya pecah tanpa bisa dibendung lagi.
"Walaupun sudah terlambat," ujar Ravael sambil mengelus puncak kepala Savira.
"Selamat hari jadi ke satu tahun, Savira Indriyanti. Mari hentikan taruhan sebelumnya. Aku ingin memulai kata kita yang sekarang tanpa dasar taruhan dan permainan. Aku sudah jatuh mencintaimu," aku Ravael. Dilepaskannya perlahan pelukan singkat tersebut, lantas merogoh kantong celana untuk mengambil sebuah kalung dengan liontin infinity.
"Mau tidak mau, suka tidak suka. Ojek langgananmu selama setahun ini tetap akan memaksamu agar jadi pacarnya," sungut pemuda berkacamata itu sembari memasangkan kalung tersebut pada leher Savira. Wajah Savira makin merona ketika matanya bertemu tatap dengan mata teduh Ravael di balik kacamatanya.
"Aku belum bisa percaya meskipun aku mengatakan bahwa aku juga merasakan hal yang sama. Bisa tolong pelan-pelan saja, mas? Lagipula aku juga punya banyak hutang dengan mas ojek ini," terang Savira. Ravael mengangguk mantap.
"Apapun untukmu, Ra. Aku juga tak merasa kamu punya hutang. Anggap saja masalah tadi itu adalah karena ego kita yang sama-sama tinggi. Maaf karena aku tidak cepat-cepat meresmikanmu," ujarnya kemudian. Savira mengusap air matanya pelan. 'Terima kasih dan maaf,' gumam Savira tanpa suara.
Savira dan Ravael pun saling rengkuh dalam kehangatan peluk masing-masing. Menyalurkan perasaan yang selama ini mereka bagi. Kali ini tidak didasari permainan anak-anak, hanya perasaan tulus yang baru terungkap. Kegiatan mereka terhenti oleh dering ponsel Ravael. Papanya menelpon dan berkata sudah selesai mengurus pengobatan bunda Savira.
######
Cerita ini saya persembahkan untuk orang-orang yang punya masalah dengan pacarnya tapi tidak pernah mau langsung jujur pada pasangannya. Saya tahu kode-kode itu memang seru untuk ditebak, tapi siapa juga yang tahan berperan sebagai detektif dalam sebuah hubungan sepasang kekasih? Kecuali memang pekerjaannya adalah detektif kepolisian. Untuk teman-teman saya, tidak semua manusia punya indra keenam. Dan untuk scene awal pembuka cerita ini, terima kasih banyak.
Komentar
Posting Komentar